Langkah Kecil di Tanah Tradisi
Cerita CSS di Balongdowo
Tepat 4 bulan yang lalu, di bulan Januari 2025. Saya bersama kelima teman saya melakukan suatu kegiatan sosial yang dinamakan Community Service Skill (CSS). Dikarenakan lokasi rumah yang dekat dengan Kecamatan Candi, saya ditempatkan di Desa Balongdowo. Di tanggal 6 Januari 2025, saya melaksanakan pemberangkatan CSS dengan dampingan dari Ibu Lailatul Fitria Armadani dan juga bersama teman jurusan non-kesehatan. Di rentang 1 bulan, saya dan kelima teman mengikuti kegiatan Posyandu di setiap desa daerah Balongdowo. Dan juga beberapa kegiatan di Balai Desa Balongdowo seperti pos gizi dan pos ibu hamil. Ketika saya terjadwal untuk kegiatan posyandu, saya dan kader posyandu akan bekerja sama membantu para warga untuk pemeriksaan kesehatan, diantaranya seperti membantu mendata para warga setempat, menimbang berat badan bayi, balita, dan lansia, dan juga mengukur tinggi badannya. Setiap posyandu memiliki 2 sesi, sesi pertama untuk para bayi dan balita, sementara sesi kedua untuk para lansia. Bagi para lansia, jika sudah selesai melakukan pemeriksaan kesehatan, maka akan diarahkan ke Bidan untuk berkonsultasi dan apabila mereka memiliki keluhan, lalu bidan akan meresepkan obat. Ada juga pemeriksaan tekanan darah, cek gula darah, dan cek kolesterol.
Pada saat terjadwal pos gizi, saya, teman teman, dan kader posyandu juga bekerja sama untuk memasak makanan bergizi yang akan dibagikan kepada anak anak, membagikan biskuit, serta mengajak bermain. Ibu bidan juga menyampaikan informasi terkait tumbuh kembang si anak.
Pada saat terjadwal pos ibu hamil, saya, teman teman dan kader posyandu juga bekerja sama untuk senam yoga ibu hamil bersama ibu bidan sebagai instruktur. Dan juga menyampaikan informasi terkait kehamilan. Serta memberikan biskuit ibu hamil.
Nama Balongdowo berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa:"Balong" artinya kolam atau telaga,"Dowo" artinya panjang. Jadi, Balongdowo berarti kolam panjang atau telaga memanjang. Nama ini diperkirakan muncul karena pada masa lalu di wilayah tersebut terdapat kolam alami atau sungai kecil yang memanjang, dan menjadi sumber air penting bagi masyarakat sekitar. Lokasi ini mungkin menjadi tempat bermukim awal masyarakat karena adanya air dan lahan subur.
Tradisi kearifan budaya di Balongdowo, Sidoarjo, yang paling dikenal adalah Nyadran, sebuah ritual yang dilakukan menjelang bulan Ramadan sebagai bentuk syukur kepada Tuhan atas hasil laut. Nyadran ini melibatkan prosesi keliling desa, dengan kegiatan puncak pada tengah malam, dan menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat nelayan di Balongdowo. Nyadran adalah kegiatan ritual yang melibatkan prosesi mengarak sesajian, biasanya berupa tumpeng, menuju ke makam Dewi Sekardadu, yang dipercaya sebagai tokoh yang berkuasa atas hasil laut. Prosesi Nyadran dimulai dengan persiapan masyarakat Balongdowo, khususnya nelayan kupang, sejak siang hari. Puncak acara dilakukan pada malam hari dengan keliling desa, melewati sungai dan wilayah tertentu. Nyadran di Balongdowo memiliki beberapa makna, antara lain sebagai bentuk syukur atas hasil laut, memohon keselamatan dan kelancaran usaha kupang, serta menjaga tradisi leluhur. Nyadran Balongdowo memiliki ciri khas tersendiri, seperti membuang ayam hidup ke sungai Pecabean untuk mencegah kesurupan pada anak-anak yang ikut prosesi.
Kampung Nelayan Balongdowo, Satu-Satunya Kampung Kupang di Sidoarjo yang Kini Terancam “Putus Generasi”. Di Sidoarjo ada satu kampung nelayan yang unik. Berbeda dari kampung nelayan lainnya yang ada di Sidoarjo. Unik karena nelayan di kampung tersebut tidak mencari ikan, melainkan mencari kupang. Kampung ini adalah Kampung Kupang Desa Balongdowo di Kecamatan Candi.
Di Kota Delta yang sebagian warganya bekerja melaut, Tuhan sepertinya memang menyediakan kupang, khusus hanya untuk warga Desa Balongdowo. Dari kupang, mereka bisa mendapatkan penghasilan, hingga hidup berkecukupan. Kupang bisa diolah menjadi beberapa makanan. Seperti kupang lontong, makanan khas Kota Delta. Selain itu, kupang juga bisa diolah menjadi kerupuk dan petis. Bahkan cangkangnya pun dapat diolah untuk campuran makanan ternak.
Di pagi hari sekitar pukul 07.00 WIB, bila kita melewati kampung Balongdowo Candi, kita akan mendapati pemandangan yang tidak ada di kampung lainnya. Dari arah Barat, sebelum sampai di kantor balai desa, kita akan melewati jembatan. Bila menengok ke kanan jalan, kita serasa melihat pasar terapung. Karena perahu yang baru datang dari laut, selalu dikelilingi warga untuk mengambil kupang yang baru datang. Tiap hari nelayan berangkat setelah Ashar, lalu kembali lagi setelah subuh tiba. Biasanya, satu kapal berisi lima (5) orang dengan kebutuhan solar 10 liter untuk pulang pergi. Para nelayan Desa Balongdowo ini mencari kupang di sekitar perairan Desa Kepetingan Buduran, mendekati perairan selat Madura. Sepanjang tahun, nyaris setiap hari tanpa henti, mereka melaut. Sepulang dari melaut, berkarung-karung kupang bisa mereka dapatkan. Hasil kupang yang diperoleh lalu mereka jual kepada tetangganya sendiri untuk diolah.
Para nelayan biasanya menjual kupang dengan takaran timba. Satu timba kecil kupang rata-rata mereka jual seharga Rp 8 ribu. Salah satu warga yang kemarin terlihat adalah Jumroh, warga RT 2 RW I. Dengan dibantu suaminya Aslin, mereka berdua kompak mencuci kupang di sungai.Kupang ini harus dicuci sampai bersih. Nanti di rumah kami cuci lagi sebelum direbus. Umumnya, warga merebus kupang di tengah malam hingga subuh. Butuh waktu sekitar lima jam. Biasanya para pembeli berdatangan di pagi hari. Kampung Kupang Balongdowo memang telah lama ada. Turun-temurun. Tetapi, kini muncul kekhawatiran karena putusnya generasi penerus. Nelayan dan pengolah kupang kini lebih banyak diisi generasi yang sudah sepuh. Sementara anak-anak mereka kini lebih tertarik memilih bekerja di pabrik. “Dulu di kampung kami ada sekitar 50 perahu. Sekarang tinggal lima perahu saja karena tidak ada penerusnya. Perahu pun dijual” jelas Munir, warga setempat. Munir mengaku, dirinya dulu menjadi nelayan kupang ketika usianya masih muda. Namun, sejak lima tahun lalu, ia terpaksa ‘pensiun’ karena dua putranya yang telah bekerja di pabrik, melarangnya melaut.
Salah satu ragam budaya masyarakat Sidoarjo adalah budaya Nyadran yang tak sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Istilah Nyadran sendiri muncul dari sebuah desa yang mampu menampilkan tradisi ini turun temurun dari sejak dulu Nyadran adalah wujud syukur para nelayan kepada sang pencipta dengan sedekah kepada laut atas hasil laut selama satu tahun. Beliau juga menambahkan bahwa tradisi ini pada awal mulanya telah dilakukan secara turun-temurun, tidak diketahui secara jelas kapan tradisi ini mulai dijalankan dikarenakan memang sejak dahulu telah dilakukan oleh masyarakat yang ada di Desa Balongdowo. Tradisi ini telah dipercaya oleh masyarakat dan dilaksankan setiap tahunnya menjelang bulan Ramadhan. Selain itu, Nyadran di Sidoarjo mempunyai ciri khas tersendiri. Kegiatan Nyadran dilakukan oleh masyarakat Balongdowo yang mata pencaharian sebagai nelayan kupang, pada siang harinya sangat disibukkan dengan kegiatan persiapan pesta upacara meski puncak acaranya pada tengah malam. Kegiatan ini dilakukan pada dini hari sekitar pukul 1 pagi. Orang- orang berkumpul untuk melakukan keliling. Perjalanan dimulai dari Balongdowo Kec, Candi menempuh jarak 12 Km. Menuju dusun Kepetingan Ds. Sawohan Kec. Buduran. Perjalanan ini melewati sungai desa Balongdowo, Klurak kali pecabean, Kedung peluk dan Kepetingan ( Sawohan ). Ketika iring-iringan perahu sampai di muara kali Pecabean perahu yang ditumpangi anak balita membuang seekor ayam. Konon menurut cerita dahulu ada orang yang mengikuti acara Nyadran dengan membawa anak kecil dan anak kecil tersebut kesurupan. Hal ini sudah jelas menjadi sebuah adat kepercayaan masyarakat yang masih kental dan diterapkan dari masa ke masa.
Oleh karena itu untuk menghindari hal tersebut masyarakat Balongdowo percaya bahwa dengan membuang seekor ayam yang masih hidup ke kali Pecabean maka anak kecil yang mengikuti nyadran akan terhindar dari kesurupan/ malapetaka Warga Desa Balongdowo, Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo kembali menggelar perayaan nyadran menjelang datangnya bulan suci Ramadhan. Kegiatan itu memang telah menjadi tradisi warga desa yang dilakukan setiap tahun dengan arak-arakan perahu menuju Makam Dewi Sekardadu.
Nyadran diawali dengan kegiatan arak-arakan perahu yang membawa tumpeng raksasa dan berisi hasil bumi masyarakat. Tumpeng tersebut nantinya akan dinikmati bersama warga lainnya. Warga yakin akan mendapat keselamatan dan rezeki terutama bagi sebagian besar warga yang berprofesi di laut sebagai nelayan.
Amiril Mukminin selaku Kepala Desa Balongdowo mengatakan bahwa kegiatan nyadran ini biasa dilakukan diakhir bulan Ruwah. Karena warga percaya jika kegiatan tersebut dilakukan akan mendapat rezeki yang berlimpah di depannya. “Ritual nyadran ini dilakukan rutin setiap tahun diakhir bulan Ruwah, dengan harapan warga desa yang berprofesi mencari kupang mendapat hasil yang lebih berlimpah,” Ia menjelaskan bahwa kegiatan itu bukan sekedar sekedar menikmati hasil bumi secara bersama-sama saja, tetapi juga digelarnya kegiatan istighosah dan doa bersama. Sekaligus sebagai upaya melestarikan tradisi kebudayaan leluhur warga desa.
“Nyadran ini merupakan bentuk melestarikan atau uri-uri budaya warisan leluhur, jangan sampai warisan leluhur ini mati suri,” ucapnya Salah seorang warga Desa Balongdowo yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan nyadran bernama Agus Setiawan mengaku senang dapat mengikuti kegiatan tersebut. Meski dirinya masih muda, namun ia sangat antusias untuk mengetahui warisan budaya leluhurnya. “Kami dari kalangan muda turut bangga dapat terlibat memeriahkan kegiatan nyadran ini. Meski hanya dengan membawa perangkat sound system ,” kata dia.
Kecintaan pada tradisi warisan leluhur itu membuatnya rela menghabiskan uang Rp 30 juta untuk menyewa perahu dan perlengkapan sound system. Ia menyatakan bahwa tradisi tersebut patut untuk terus dihidupkan. “Anak muda yang ikut dalam perahu sebanyak 20 orang, biaya sewa perahu dan sound system ditanggung bersama,” tutupnya.